Arsitektur dan segala pembahasan tentangnya seringkali –jika tak dapat dikatakan selalu– berkaitan erat dengan keindahan. Keindahan merupakan bagian tak terpisahkan dari arsitektur, terlepas dari berbagai standar tentang keindahan itu sendiri. Keterkaitan yang kuat antara arsitektur dan keindahan inilah yang tampaknya membuat banyak literatur tentang arsitektur di dunia Islam memasukkan arsitektur sebagai bagian dari seni, yaitu “seni ruang” dalam bahasa Ismail Raji al-Faruqi atau “seni plastis” menurut istilah Seyyed Hossein Nasr.
Seperti telah kita ketahui, keindahan merupakan bagian dari kemampuan estetis (rasa) dalam diri manusia dan merupakan bagian terpenting dalam bidang kajian seni. Keindahan tampaknya memiliki arti khusus pula di dunia Islam. Dalam arsitektur yang berkembang berdasarkan nilai-nilai Islam, yang dalam penelitian ini disebut sebagai arsitektur islami, nilai penting keindahan tampak mulai dari level filosofis hingga pada level operasional. Pada level filosofis, di dalam salah satu hadits dinyatakan bahwa Allah itu indah dan menyukai keindahan. Hadits ini banyak dijadikan dasar bagi pengembangan keindahan dalam arsitektur Islam.
Walaupun demikian, konsep keindahan dalam arsitektur ini bukanlah keindahan yang semata-mata berakhir pada penilaian akan bentuk yang kasat mata saja. Dalam bahasa Seyyed Hossein Nasr, terdapat pandangan-dunia (worldview) Islam yang mempengaruhi seni dan arsitektur islami secara umum. Karenanya, kelahiran citarasa artistik yang universal dalam arsitektur islami dan bentuk-bentuk seni lainnya, dengan segala ide jeniusnya, perbedaan karakteristik dan homogenitas formalnya, menyangkut perbedaan budaya, geografis dan sifat temporal, tentu bukan lahir secara kebetulan belaka (Nasr, 1993: 13-14).
Dari berbagai penelitian mendalam tentang arsitektur Islam, dapat disimpulkan bahwa filosofi dasar arsitektur dan seni yang dapat disarikan dari pandangan-dunia Islam adalah sebagai pengingat tauhid, keesaan dan kebesaran Allah swt. Pada dasarnya, filosofi dasar ini terkait erat dengan tujuan keberadaan manusia di dunia, yaitu beribadah kepada Allah. Pengertian ibadah sendiri di dalam Islam sangat luas, sehingga meliputi kegiatan berarsitektur yang didasarkan pada nilai-nilai Islam. Selain itu, mengingat Allah dalam setiap keadaan merupakan kewajiban setiap muslim dan merupakan salah satu kegiatan yang bernilai ibadah. Dalam kesehariannya berinteraksi dengan obyek arsitektur, maka peran arsitektur islami menjadi sangat penting sebagai sarana pengingat tauhid bagi umat Islam itu sendiri.
Seni dan Estetika
Dr. Sidi Gazalba, di dalam bukunya “Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam”, menyatakan bahwa soal keindahan adalah soal kesenian. Seni adalah semua yang menimbulkan rencana keindahan atau keharuan dan semua yang diciptakan untuk melahirkan rencana itu. Rencana itu melahirkan kesenangan dan bertujuan kesenangan (Gazalba, 1975: 206). Sementara itu, Jerome Stolnitz menyatakan, ”Aesthetics has often been described as the philosophical study of beauty and ugliness” (Stolnitz dalam Edwards dalam Gie, 1996: 26).
Keindahan ini, menurut Gazalba, walaupun tidak identik, berhubungan mesra dengan kebaikan. Dalam hal ini, estetika berkaitan erat dengan etika; yang baik itu indah, yang indah itu baik. Aristoteles dalam bukunya ”Rhetorica” merumuskan keindahan dengan kalimat, ”that which being good is also pleasant”, yaitu sesuatu yang selain baik juga menyenangkan (Gie, 1996: 13). Jika ditelusuri dari asal kata ’beauty’ dalam bahasa Latin, yaitu ’bonum’ yang berarti kebaikan, maka tampaklah bahwa makna beauty(keindahan) berkaitan dengan pengertian kebaikan (Gie, 1996: 17). Lebih jauh, dalam hubungannya dengan agama, akan nyata pula hubungan yang erat antara agama dengan seni, sebagaimana eratnya hubungan antara agama dan etika. Hal ini diperkuat dengan adanya sebuah teori ilmu kebudayaan yang berpendapat bahwa seni lahir dari agama (Gazalba, 1975: 206-207). Di dalam kebudayaan yang sederhana hingga yang tinggi tingkatnya, misalnya kebudayaan Bali, akan tampak bahwa seni berfungsi sebagai pernyataan agama. Ciptaan-ciptaan seni banyak yang lahir oleh rangsangan rasa agama, dan rasa agama yang menjelma menggerakkan rasa seni untuk mencipta (Gazalba, 1975: 208).
Aristoteles di dalam bukunya “Poetics”, menyatakan “To be beautiful, a living creature, and every whole made up of parts, must not only present a certain order in its arrangement of parts, but also be of certain definite magnitude.” Jadi, menurut Arsitoteles unsur-unsur keindahan di dalam alam dan karya manusia adalah suatu ketertiban dan suatu besaran (ukuran tertentu) (Gie, 1996: 41). Sementara itu, Thomas Aquinas berpendapat bahwa keindahan meliputi tiga persyaratan, yaitu (1) integrity or perfection (keutuhan atau kesempurnaan), (2) proportion or harmony (perimbangan atau keserasian) dan (3) brightness or clarity (kecemerlangan atau kejelasan) (Gie, 1996: 44).
Dalam perkembangannya, para ahli estetika menentukan bahwa unsur pokok keindahan ialah kesatuan (unity). Setiap bagian di dalam suatu karya seni haruslah mendukung atau membangun suatu tujuan yang menyeluruh. Dalam kenyataannya, unsur kesatuan itu mencakup beraneka ragam hal lain, sehingga diperoleh konsep “unity in variety” (Gie, 1996: 42). Sebagai kesimpulan, Gie memaparkan bahwa keindahan terdiri dari unsur-unsur ketertiban, besaran, keutuhan, perimbangan, kejelasan, kesatuan, kerumitan dan kesungguhan, ditambah beberapa unsur lain, yaitu perimbangan anatomis, kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance) dan keserasian warna (Gie, 1996: 43).
Seni Islami
Pembahasan konseptual mengenai seni islami ini dilakukan untuk memberi gambaran bahwa aspek keindahan merupakan salah satu aspek yang sangat penting di dalamnya. Dari pembahasan ini akan dapat diperoleh dasar yang kuat bagi keterkaitan antara keindahan sebagai bagian dari seni dengan kebaikan dan kebenaran sebagai bagian dari etika dan agama. Dengan demikian, dapat diperoleh gambaran umum dan mendasar mengenai konsep keindahan di dalam seni islami secara umum, sebelum pembahasan dilanjutkan kepada topik yang lebih khusus mengenai konsep seni islami menurut Al-Faruqi.
Aliran seni islami, menurut Gazalba, terletak di antara dua aliran seni lainnya, yaitu seni untuk seni (l’art pour l’art) dan seni untuk sesuatu. Aliran kedua menuduh aliran pertama sebagai aliran yang egois dan individualis. Sebaliknya, aliran pertama menuduh aliran kedua sebagai seni yang bertendensi, mengabdi kepada sesuatu yang di luar seni dan dengan demikian menempatkan diri lebih rendah daripadanya. Seni untuk seni dalam ciptaannya dikendalikan dari pangkalnya, sedangkan seni untuk sesuatu dikendalikan oleh ujungnya. Di dalam seni islami, kesenian berpangkal dari takwa dan bergerak kepada satu tujuan, yaitu diri dan masyarakat. Laku perbuatan takwa ialah karena Tuhan, efeknya terjadi pada diri sendiri dan masyarakat. Dengan pengendalian pangkal cipta, tergaris sekalian tujuan. Maka seni islami menghimpun di dalam dirinya sintesa kedua aliran di atas (Gazalba, 1975: 212-213). Kreativitas seni islami adalah kebebasan yang bertanggung jawab, memperhatikan keindahan sekaligus kebenaran, sehingga produk seni islami sarat dengan perpaduan estetika dan etika (Hambali, 2006: 281).
Sejalan dengan pendapat-pendapat di atas, Al-Faruqi menyatakan bahwa selain sebagai ungkapan keindahan, seni dalam Islam juga merupakan ungkapan kebenaran dan kebaikan bagi para pemeluknya (Al-Faruqi, 2003: 415). Pandangan tentang keindahan menurut Al-Faruqi merupakan pandangan yang muncul dari pandangan dunia (worldview) tauhid yang merupakan inti ajaran Islam, yaitu keindahan yang dapat membawa kesadaran pengamat kepada ide transendensi. Seni islami menurut Al-Faruqi meliputi segala produk historis yang memiliki nilai estetis yang telah dihasilkan oleh orang-orang Muslim, dalam kurun sejarah Islam, berdasarkan pandangan estetika tauhid dan selaras dengan semangat keseluruhan peradaban Islam. Di dalamnya tercakup berbagai bidang seni, seperti seni sastra, kaligrafi, ornamentasi, seni ruang dan seni suara. Seluruh seni ini berkembang berdasarkan enam ciri yang diambilkan dari al-Qur’an sebagai model ideal, yaitu abstraksi, struktur modular, kombinasi suksesif, repetisi, dinamisme dan kerumitan (Al-Faruqi, 1999: vii-viii).
Kedudukan Estetika dalam Arsitektur Islam
Vitruvius menyatakan bahwa sebuah bangunan yang baik harus memenuhi tiga prinsip, yaitu durability, convenience dan beauty. Artinya, sebuah bangunan harus memiliki kekokohan, ia harus dapat bertahan dan tetap dalam kondisi yang baik; kegunaan, ia harus memiliki kegunaan dan berfungsi dengan baik bagi orang yang menggunakannya; dan keindahan, ia harus menggembirakan dan meningkatkan semangat orang yang melihatnya (Morgan, 1960: 17).
Di banyak literatur, dapat kita lihat bahwa dalam perkembangannya, penulisan mendalam mengenai arsitektur di dunia Islam memang banyak mengeksplorasi nilai-nilai keindahan dan makna yang terkandung di dalamnya. Walaupun demikian, bukan berarti pembahasan mengenai faktor-faktor lain di dalam sebuah bangunan, seperti kekokohan dan fungsi tidak mendapat porsi yang memadai. Pembahasan mengenai hal-hal di atas tetap mendapat perhatian yang cukup besar. Hanya saja, pembahasan mengenai kekokohan dan fungsi seringkali tetap berujung pada keindahan dan makna karya arsitektur yang bersangkutan. Selain itu, ternyata keindahan yang terdapat di dalam konsep seni islami ini, menurut Al-Faruqi tidak berhenti semata-mata pada keindahan bentuk fisik, namun memiliki makna dan fungsi sebagai pengingat tauhid.
Selain Vitruvius, terdapat pula Leone Battista Alberti yang memperinci ide-ide dari Vitruvius. Ia menyatakan bahwa aspek keindahan yang utama adalah permasalahan proporsi, walaupun ornamen juga memiliki peran penting. Bagi Alberti, aturan-aturan proporsi yang ideal berasal dari proporsi manusia yang sempurna,the Golden Man. Bagian terpenting dari keindahan menurut Alberti adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah obyek, bukan sekedar sesuatu yang ditambahkan secara superfisial; dan didasarkan pada kebenaran-kebenaran yang universal dan dapat dikenali.
Dari penjelasan Al-Faruqi mengenai karakteristik estetis di atas, dapat kita simpulkan bahwa proporsi di dalam arsitektur Islam juga memegang peranan yang sangat penting. Struktur modular dan perulangan-perulangan merupakan usaha-usaha untuk menampilkan proporsi yang sesuai bagi bangunan. Walaupun begitu, Al-Faruqi memandang bahwa ornamen dan dekorasi bukanlah suatu hal yang “hanya ditambahkan secara superfisial” di dalam seni islami, melainkan sebagai suatu entitas yang menyatu dengan karakteristik seni islami itu sendiri (Al-Faruqi, 2003: 412). Ornamentasi memainkan peranan yang penting dalam membentuk kesan ruang dan mempengaruhi persepsi pengamat. Selain itu, ornamentasi berfungsi pula dalam transfigurasi material, artinya penyamaran material yang digunakan di balik penggunaan pola-pola infinitif yang akan lebih mengarahkan persepsi pengamat pada makna transenden. Dalam pandangan pengamat, kualitas aktual material akan tersamarkan dan tergantikan oleh pola-pola infinitif itu. Makna yang dikandung dari transfigurasi ini adalah bahwa dunia materi yang disimbolkan oleh kualitas aktual material bukanlah fokus perhatian utama, nilai dari material itu terutama terletak pada kemampuannya untuk berfungsi sebagai pengingat tauhid, yaitu dengan pola-pola infinitif yang melingkupi permukaannya.
Lebih jauh, kita dapat pula melihat kedudukan keindahan dalam arsitektur dari pernyataan Le Corbusier. Le Corbusier menulis: “You employ stone, wood, and concrete, and with these materials you build houses and palaces: that is construction. Ingenuity is at work. But suddenly you touch my heart, you do me good. I am happy and I say: This is beautiful. That is architecture”. Dari pernyataan Le Corbusier ini kita dapat menyimpulkan bahwa hal yang membedakan arsitektur dengan bangunan pada umumnya, terletak pada keindahannya. Namun keindahan yang dimaksud di sini tidak berhenti pada penilaian akan bentuk fisik semata, namun lebih mengarah kepada keindahan yang dapat menyentuh hati dan yang muncul dari “perlakuan” yang baik. Artinya, keindahan yang memiliki makna-makna yang baik dan mampu menimbulkan perasaan positif dalam diri orang yang mengamati dan mengalaminya. Hal inilah juga yang tampaknya coba diutarakan Al-Faruqi di dalam konsep seni islaminya. Keindahan-keindahan yang bermakna transenden dan mampu mempengaruhi pengamatnya untuk merasakan adanya sebuah kekuatan yang Maha Besar, dan karenanya menuntun manusia kepada kesadaran akan keterbatasan dirinya di hadapan Tuhan.Inilah perasaan positif yang harus dibangun oleh arsitektur Islam di dalam diri pengamat dan penggunanya.