Follow This Blog

Minggu, 28 November 2010

Achmad Noeman


Siapa tak kenal masjid Salman ITB? Masjid tidak berkubah dan tidak bertiang di dalamnya itu adalah masjid kampus pertama yang dibangun di Indonesia. Bisa dikatakan, para aktivis dakwah kampus di Indonesia tentu mengenal sosok ini. Ia berkiprah dalam dunia dakwah - utamanya - melalui bidang arsitektur. Orang mudah mengenal karya unik Ir. Ahmad Noeman dalam arsitektur masjid.

Achmad Noeman lahir di Garut, 10 Oktober 1926. Kepada ISLAMIA-REPU-BLIKA. ia menuturkan, minatnya terhadap arsitektur terilhami oleh ayahnya yang selalu menggambar sendiri masjid dan madrasah yang akan dibangun. Ayahnya, H. Muhammad Djamhari adalah salah seorang pendiri Muhammadiyah di Garut. Setiap kali Muhammadiyah akan membangun masjid, madrasah dan kantor, ayahnya selalu meng-gambarnya sendiri. Noeman, waktu itu, selalu ikut mencermati nya. "Usia saya waktu itu sekitar delapan tahunan," demikian Noeman menuturkan.

Selepas belajar di HIS (Hollandsch Inlandsche Schooi/setingkat SD) dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderweijs/setingkat SMP) Garut, lalu SMA Muhammadiyah, Yogyakarta, Noeman menyalurkan minatnya dengan kuliah di Fakultas Teknik Universitas Indonesia (sekarang Institut Teknologi Bandung/ITB). Tapi, saat itu, 1948, di FTUI Bandung belum dibuka jurusan arsitektur. Noeman kemudian masuk jurusan Teknik Sipil/Bangunan. Saat TNI meminta mahasiswa FTUI bergabung di militer, pada 1949, sehubungan dengan keperluan TNI terhadap tentara yang bisa berbahasa Belanda, Noeman pun kemudian bergabung di CPM (Corps Polisi Militer). Akan tetapi itu tidak lama. Tepat pada 1952, saat FTUI membuka jurusan arsitektur, segera saja Noeman mengundurkan diri dari kemili-teran dan masuk pada jurusan arsitektur.

Semasa kuliah, dari sejak 1948, bersama kakaknya Ahmad Sadali- seorang kaligrafer, mantan Dekan Fakultas Teknik ITB, wafat 1987- yang juga kuliah di tempat yang sama, Noeman sering mendiskusikan pentingnya ada masjid di lingkungan kampus. Noeman dan kakaknya waktu itu betul-betul merasa kesulitan menjalankan shalat wajib, khususnya shalat Jumat di lingkungan kampus. "Maklum, waktu itu

di ITB masih banyak orang Belanda. Rektornya saja masih orang Belanda. Kalaupun ada orang Indonesia yang muslim, pada umumnya mereka sekuler," demikian Noeman menuturkan. Selepas kuliah, 1958, rencana itu kemudian dicoba diwujudkan dengan membuat sebuah panitia. Prof. TM. Soelaiman menjadi ketuanya. Walau belum jelas dimana masjid akan dibangun - karena belum dapat izin dan belum jelas juga sumber dananya - Noeman kemudian ditunjuk sebagai arsiteknya. Setelah selesai, panitia mengajukan ke pihak rektorat ITB. Usulan itu ditolak.

Salah satu murid Noeman, Ajat Sudrajat mengajak Panitia menemui Presiden Soekarno lewat pamannya yang menjadi komandan di Cakrabirawa, Kolonel Sobur. Empat anggota panitia - Prof. TM. Soelaiman, Ahmad Sadali, Ahmad Noeman, dan Ajat Sudrajat - ke Jakarta menemui Presiden Soekarno di Istana Negara.

Setelah berdiskusi alot, Soekarno kemudian menyetujui rencana pembangunan masjid tersebut. Soekarno juga yang memberi nama "Salman" karena terilhami oleh seorang arsitek perang yang ulung di zaman Nabi Muhammad saw. Bahkan, Soekarno yang juga alumnus ITB, bersedia menjadi pelindung masjid Salman. Sebagai bukti dukungannya, Presiden membubuhkan tanda tangannya pada gambar masjid yang dibuat Noeman. "Setelah ditandatangani Seokarno, maka segera saja Rektor menyetujuinya. Demikian juga dengan Walikota Bandung. Dari sana dimulailah pembangunan Masjid Salman," tutur Noeman.

Dalam pertemuan itu, Presiden Soekarno bertanya, mengapa Masjid Salman tidak berkubah; Waktu itu Noeman menjawab dengan logika Soekarno, bahwa dalam Islam yang penting adalah "api" nya. Asalkan itu masjid maka sah-sah saja walaupun tidak berkubah. Noeman juga menuturkan bahwa salah satu prinsip yang dipegangnya adalah ijtihad, yakni melakukan terobosan berdasarkan ilmu, tanpa imitasi dan meniru-niru. " Kalaupun salah, ijtihad itu kan tetap dapat pahala satu," tutur Noeman menjelaskan. Ijtihad Noeman itu disetujui juga oleh Soekarno dan seluruh panitia, sehingga jadilah Masjid Salman, satu masjid yang

berdiri megah tanpa kubah di atasnya.

Prinsip lain yang dipegang oleh salah seorang pendiri IAI (Ikatan Arsitektur Indonesia) ini adalah shaf (barisan) shalat itu harus bersambung, tidak boleh terpotong. "Maka dari itu, setiap bangunan masjid yang saya rancang tidak ada tiang di dalamnya yang dapat memotong shaf. Contohnya di Masjid Salman. Atau yang terbaru di Islamic Center Jakarta, Kramat Tunggak. Walaupun lebarnya sampai 50 m, saya meran-cangnya tanpa tiang di tengahnya," tutur Noeman lagi. Walaupun begitu, Noeman tidak menampik alasan pembuatan tiang di dalam masjid dibenarkan dengan alasan darurat. Hanya menurutnya, harus dicari ilmunya bagaimana agar tuntunan al-Quran dan Sunnah itu bisa diaplikasikan.

Dalam menjalani profesinya, Noeman selalu ingat firman Allah SWT yang tertuang dalam QS. Al-Baqarah [2] 170 Dan apabila dikatakan kepada mereka "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" Menurutnya, ayat ini harus dijadikan pegangan oleh setiap arsitek Muslim untuk tidak melakukan imitasi, melainkan harus siap aktif ber-ijtihad. Selain itu, harus selalu mendahulukan aturan dari Allah SWT, dibanding dengan tradisi yang sudah ada.

Menurut Noeman, salah satu aturan Allah SWT yang juga harus selalu diperhatikan adalah soal larangan bertindak boros. Dalam QS. Al-Isra [17] 27 disebutkan Sesungguhnya pemboros-pembo-ros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. Artinya, jangan sampai terjadi pemborosan dalam membangun masjid. Dalam hal ini ia secara terus terang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap masjid yang terlalu mewah. "Akan lebih bermanfaat jika uang untuk itu disalurkan untuk keperluan yang lain," tuturnya.

Di usianya yang ke-84 kini, Pak Noeman - begitu dia biasa disapa - masih tampak sehat. Ia secara rutin menjalankan olah raga jalan kaki. Saat ditanya, sudah berapa banyak masjid

yang diarsitekinya, ia mengaku tidak pernah menghitungnya. Ia ingat masjid-masjid yang besar saja, seperti Masjid Salman ITB, Masjid Amir Hamzah di Taman Ismail Marzuki, Masjid at-Tin Jakarta, Masjid Islamic Center Jakarta, Masjid Soeharto di Bosnia dan Masjid Syekh Yusuf di Cape Town, Afrika Selatan.

Noeman bukanlah arsitek biasa. Dia sosok seorang pejuang Muslim yang tetap konsisten dalam berdakwah. Keahliannya dalam arsitektur tidak digunakan untuk mengeruk dan menumpuk-numpuk harta benda. Seorang mantan menteri yang mengenal Noeman bercerita tentang keikhlasan sang arsitek. Kisahnya, Noeman diminta merenovasi arsitek sebagian Istana Negara dengan meletakkan sejumlah ornamen kaligrafi. "Orang itu luar biasa, setelah selesai pekerjaannya, dia tidak mau dibayar sepeser pun," kata mantan pejabat itu memuji sikap Pak Noeman.

Achmad Noeman juga memegang prinsip aqidah Islam dalam membangun masjid. Ketika ada sebuah masjid yang memaksakan dibangun dengan menanam kepala kerbau, Noeman kemudian memilih mundur, meskipun masjid itu dibangun oleh petinggi negara. Ada satu masjid terkenal di Jakarta, yang Noeman harus mendatangi sejumlah pejabat dan tokoh Islam untuk meminta pendapat mereka tentang penanaman kepala kerbau. "Alhamdulillah, akhirnya rencana penanaman kepala kerbau itu dibatalkan," papar Noeman.

Menurut salah seorang putranya, Nazar Noeman, kepada anak-anaknya, Pak Noeman selalu berpesan agar mereka menempatkan Nabi Muhammad saw sebagai sosok tauladan utama. "Kalau menokohkan orang lain, nanti bisa kecewa," kata Nazar.

Sumber : http://bataviase.co.id/node/91566

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More