Follow This Blog

Minggu, 28 Maret 2010

Atap Arsitektur Dayak

Evolusi atap bangunan rumah terus terjadidi Kalimantan tengah.Kondisi ini mudah dilihat.Begitu mendarat di bandara Tjilik Riwut,Palangkaraya,ibu kota provinsi ini,akan terlihat setidaknya tiga jenis atap pada bangunan-bangunan bandara.

Atap di bangunan eks ruang VIP bandara hingga sekarang masih berupa ulin atau lazim disebut sirap,warnanya coklat.Bangunan renovasi yang menaungi ruang kedatangan,ruang tunggu dan keberangkatan sudah memakai atap metal warna merah menyala dengan bentuk genteng Jawa.
Adapun ruang VIP baru yang selesai dibangun tahun ini beratap warna coklat kehitaman terbuat dari metal,berbentuk mirip ketupat.Kompleks bandara seolah menjadi diorama besar yang menggambarkan perjalanan evolusi atap di bumi Tambun Bungai,Kalteng.
Tentu saja ragam atap tidak saja ditemui di kompleks bandara,tetapi tersebar pula di seluruh penjuru kota Palangkaraya,Ada bangunan yang masih setia menggunakan sirap.Kini semakin banyak pula yang memilih alternatif jenis atap lainnya.
Tokoh masyarakat dayak yang turut berperan dalam pendirian Provinsi Kalteng,Sabran Ahmad,selasa (6/11) di Palangkaraya,menuturkan,masyarakat di pedalaman pada masa lalu menggunakan atap dari kulit kayu,selain daun rumbia atau nipah.
Begitu tahu cara mengolah kayu ulih menjadi atap,mereka mulai memakai sirap sebagai pelindung rumah dari guyuran hujan dan empasan sinar matahari.Jadilah sirap sebagai penanda rumah khas dayak.
"Pada awal kota Palangkaraya dibangun sekitar tahun 1957,gedung perkantoran umumnya menggunakan atap sirap.Adapun rumah warga beratap daun nipah atau rumbika.Seng bergelombang pun pelan-pelan mulai di pakai sebagai atap,"kata Sabran.
Tahun terus berganti.Dekade 70-an pun datang sembari datang mengusung mode genteng tanah yang datang dari Jawa..Sekitar lima tahun terakhir kata Sabran,datanglah produk genteng berbahan metal terutamadidominasi warna merah,biru,dan hijau.Warna yang disebut terakhir tergolong sedikit di palangkaraya dibandingkan dengan dua warna lainnya.
Terlepas darai sifat keterbukaan masyarakat Dayak menerima pengaruh dari luar,Sabran menengarai perubahan jenis atap di Kalteng kini juga dipengaruhi kesulitan mendapapatkan kayu ulin yang saat ini terbilang langka.Padahal,kayu ulin dalah bahan sirap yang kemudian mengejawantah menjadi ikon atap bangunan khas dayak.
"Saya rasa evolusi atap ini berjalan dengan sendirinya,tidak ada perencanaan," kata Sabran.Ulin langka,produk atap metal bermunculan.Alhasil,proses perubahan atap pada bangunan kantor atau pemukiman warga Kalteng ini pun terjadi.
Merinci keunggulan atap ulin,Sabran menuturkan,sirap mampu bertahan antara 30 hingga 60 tahun,bahkan apabila bangunan menggunakan sangkuak (bilah atap dari papan ulin dengan panjang sekitar 70-an sentimeter dan lebar 20-an sentimeter,dengan tebal hampir satu sentimeter.
Pada Mei lalu kompas menyaksikan atap sirap di sebuah rumah betang atau rumah panjang bertiang tinggi khas dayak di Tumbang malahoi,Kecamatan Rungan,Kabupaten Gunung Mas,yang menurut perkiraan arkeolog dibangun sekitar tahun 1869.
Mengacu pada Undang-undang bangunan dan gedung tahun 2002,ketua Jurusan Arsitektur Fakultas Tekhnik Universitas Palangkaraya Wijanarka menyatakan pentingnya mempertahankan karakterlokal,termasuk dalam hal atap.Ini logis karena atap adalah bagian dari rumah yang berada di luar sehingga mudah terlihat dalam membawakan karakter bangunan.
Ia mencontohkan bangunan Kantor Dinas Kehutanan Kaltengyang telah berubah jenis atapnya dari ulin berwarna kecoklatan menjadi atap metal berwarna merah menyala.Bentuk atapnya pun tidak lagi memanjang dan berujung runcing,seperti halnya sirap ulin,tetapi persis genteng dari jawa."ini yang kemudian memunculkan kesan arsitektur lokal,tetapi rasa jawa," kata Wijarnaka.
Menurut Wjarnaka konsep minimalis dan post modern tak pelak memmang ikut mengakibatkan pudarnya kesan lokal arsitektur bangunan setempat.Pembangunan gedung pun,apalagi yang dibiayai proyek,harus mempertimbangkan efisiensi biaya.
Namun dia berpandangan,alasan efisiensi biaya atau kelangkaan ulin dapat diatasai apabila baik arsitek maupun perencana bangunan pintar-pintar memilih bahan pengganti yang tidak menghilangkan karakter lokal.Misalnya,kalaupun menggunakan genteng metal,pilihlah gentengnya yang mirip sirap.Warnanya juga sebaiknya gelap seperti sirap,jangan yang menyala.
Pemilihan atap ulin merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat dayak yang mampu menciptakan kesejukan di dalam ruangan."atap metal ynag menaikkan suhu di dalam ruang sebenarnya juga lebih cocok di pakai di daerah berhawa dingin,bukan di daerah yang panas seperti disini" ujar Wijarnaka.
Upaya melestarikan karakter arsitektur lokal dayak dapat di mulai dari gedung-gedung milik negara,misal kantor-kantor dinas dan instansi pemerintah.
Sebagai ilustrasi,saat ini gedung di kantor Gubernur kalteng pun sedang direnovasi.Selasa siang,sebuah truk ekspedisidatang dari banjarmasin,kalimantan selatan yang membawa atap asbes.
Atap asbes itu berbentuk bujur sangkar dengan ukuran sekitar 18 x 18 sentimeter.Salah satu dari bujur sangkar tadi di gores menjadi 3 sehingga ujungnya saling berpisah,tetapi pangkalnya masih menyatu di sisi lain asbes.Ketiganya berujung runcing sehingga mirip tiga bilah sirap ulin yang berjajar.
Meski bukan berbahan ulin,pemilihan atap asbes berbentuk sirap itu boleh juga karena sepintas -apalagi kalau dari jauh-masih ada kesan sirap yang khas dari Kalimantan.lewat pemilihan atap akan terjaga karakter lokal suatu bangunan.
(C ANTO SAPTOWALYONO )

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More